Blog

Cerpen karya Mya Coklat : Kata Yang Hilang

Sabtu, 15 Maret 2008 - - 0 Comments

“Siaaaaphk…phk…phk…Grak! Hitung, muhulai!”. Terdengar aba-aba yang kering dari mulut Buyut Sayang sehingga membuat semua penghuni Mess Relawan “Perintis Kisah Baru” sibuk berbisik-bisik, bergunjing tentang semangat militer Buyut Sayang yang dinilai sudah kadaluarsa. Sampai Mess tersebut bak berubah menjadi sekumpulan lebah marah yang sedang mengejar anak kecil yang melempari sarangnya. Berdengung….

“Yah, ini sudah yang ke 16.952 kali sejak Maret 2006 kita disini, Buyut Sayang tak bosan-bosannya memimpin Pasukan Sayang untuk berbaris dan lalu berhitung, mengecek apakah yang tersesat telah kembali. Tapi tetap saja pasukannya kurang satu” kata keturunan ketiga Honey dengan santai sambil memain-mainkan pensil kayu di jari-jari tangan kirinya. “Pasukan kita…” sambung cicit Cinta yang sedang duduk di atas motor balapnya, juga tak kalah santai. “Ya… ya… ya…, pasukan kita, Pasukan Relawan Perintis Kisah Baru, yang tak lelah-lelahnya menunggu keturunan terakhir Bangsa Sayang untuk kembali ke Mess ini sebagai tanda mulainya tugas mulia kita untuk memberi cahaya pada hati tuan kita yang telah gelap oleh kesedihan” keturunan keempat Honey ikut nimbrung dengan mimik penuh bangga.

Begitulah suasana yang terjadi di dalam pikiran Senja, si gadis pemurung. Lebih tepatnya, gadis yang jadi pemurung. Sejak kekasih tercintanya meninggal akibat kecelakaan pada Maret 2006 yang lalu, tepatnya di hari pertunangan mereka, Senja menjadi gadis pemurung. Seperti namanya, dia bagai menelan kesedihan hidupnya dalam-dalam seiring tenggelamnya mentari menjadi kepekatan malam dan seolah-olah tiada bisa lagi menjelmakan diri bahkan sela-sela sapaan fajar. Padahal sebelumnya dia adalah gadis yang sangat ceria.

Cahaya mentari begitu menghangatkan…

Titik-titik air hujan begitu menyejukkan…

Tiupan angin begitu melenakan… , sebelum Maret 2006.

“Jejaka Lovely yang selalu menciptakan riak kerinduan dalam danau hatiku, apalagi kiranya yang harus kita jejaki agar dinding jiwa tak menjadi rapuh akibat penantian ini? Penantian akan datangnya keturunan terakhir Bangsa Sayang, si Relawan Pelengkap? Semoga Tuan kita tak dihimpit muram terlalu lama. Kasihan dia……” suara itu makin lama makin mengecil dalam pendengaran Buyut Sayang seirama dengan makin ditutupnya lubang pendengarannya. “Aahhkh..kh..uhk…uhk…!” hardiknya bersambung batuk tuanya. “Mengapa Bangsa Lovely harus bersarang di pikiran Pujangga? Sehingga kacaulah kalimat-kalimat yang keluar dari lubang bicara mereka. Susah dimengerti!”

“Tenang Buyut, tenang…Nanti batuknya tambah parah. Bisa-bisa Buyut tidak bisa berteriak untuk memberikan komando. Sepuluh menit lagi apel perjam akan dimulai, Yut. Atau…” dengan penuh hati-hati keponakan Sayang bicara “atau….ehm… kita… hentikan saja….”

“Kuhurang ajar!” bantahnya diantara batuk tuanya. “Kau mau bilang lagi padaku untuk hentikan apel perjam ini? Pantang bagiku untuk menyerah mencari keluargaku yang hilang. Ingat ponakan, Bangsa Sayang adalah bangsa yang hidup dalam pikiran seorang militer. Tuan kita, Senja, telah dengan tulus membuang kata-kata Sayang kepada teman tentaranya. Itu berarti dia telah mempercayakan bangsa kita untuk hidup dalam pikiran seperti itu”. Khusus untuk menceritakan sejarah hidup bangsanya ini, batuk Buyut Sayang rela absen dari tenggorokannya. Lalu dia melanjutkan lagi dengan wajah yang begitu serius dan semakin mendekat pada ponakannya, berusaha menatap dalam-dalam wajah ponakannya itu yang mulai terhipnotis juga oleh mimiknya. “Darah survivor jelas mengalir dalam cairan tubuh kita, Bangsa Sayang” lalu suaranya bergetar, “dahhann.. kuhhuyakinnNN..uhukkh….uhukkh…uhukkhh…..keturunan terakhir kita, Sayang yang hilang pun, pasti akan temukan jahhalan untuk berkumpul dengan kitahha…kh….hhh… Pasukan Relawan Perintis Kihhisah Barhuk…hukh..uhhukh….”

Suasanapun terasa begitu khidmat, haru biru, sunyi. Namun hanya suasana ditempat mereka berdua bicara saja, hanya ditempat mereka duduk. Selebihnya, penghuni pikiran Senja yang lain sibuk kesana kemari dengan urusannya masing-masing, termasuk Bangsa Sayang, bangsa mereka berdua. Bangsa Honey yang pernah hidup di pikiran seorang Arsitek, sibuk dengan sketsa-sketsanya. Bangsa Cinta yang pernah hidup di pikiran Pembalap, sibuk mengetes motor balap mereka, melaju, lalu tiba-tiba mengerem, lalu tiba-tiba ban depannya diangkat. Membuat bangsa Kasih tak putus-putusnya memberikan komentar yang begitu dapat dirasakan kehebatannya bermain kata. Karena memang Bangsa Kasih ini dulunya, sebelum ada pengumuman bagi Bangsa-bangsa Kata Indah untuk kembali ke pemilik pikiran awal mereka, Senja, mereka pernah bersarang di pikiran seorang komentator sepakbola musiman yang hanya digelar saat perayaan tujuh belasan.

Dan tak lama dan sudah dapat diduga dengan mudah, suara serak-serak tua Buyut Sayangpun menggema.

Di tempat sunyi nan gelap…

“Siaaahphk..phk..uhhukh…ehhkggmmmm…Grakkhh!…hhh….hh…..Hithhung, mulai!” Samar-samar terdengar lagi suara itu di lubang pendengarannya. Begitu samar, namun sebaliknya, begitu kuat pula menggapai pikirannya. Seperti tangan-tangan yang hendak menggapainya : pulang. Seperti perbandingan terbalik dari sebuah rumus matematis, pasti ada hasilnya.

“Ah, suara itu begitu ku kenal” dia lalu menoleh di dinding yang tercoret. Coretannya, yang berbentuk seperti pagar. Ada garis tegak dan garis tidur disitu. Setiap empat garis tegak mempunyai satu garis tidur yang mengikatnya. Ikatan-ikatan yang menunggu untuk dilepas. Ada 3390 ikatan yang telah dibuatnya didinding itu dan bersisa 3 garis tegak yang belum terikat.

“Bagaimana bisa aku kesana Senja, kau mengurungku disini, di hatimu…”

4 Januari 2008, 4 jam

This entry was posted on 13.11 and is filed under Cerpen . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.

0 komentar: